Masakan, Tanda Cinta Seorang Ibu
LISKAFEBY.BLOGSPOT.COM - Halo sahabat blogger seluruh Indonesia! Perkenalkan nama saya Liska Feby Fitriani, biasa dipanggil Feby, saya masih duduk di bangku kuliah tepatnya di tingkat dua Institut Teknologi Bandung. Nah! Kali ini saya akan berbagi cerita tentang tanda cinta dan kasih sayang seorang ibu kepada buah hatinya.
Sebelum kita mulai, apakah kalian pernah mendengar kutipan dibawah ini
"Masakan Ibu adalah wujud cinta tanpa batas"
(Sumber : Penelusuran gambar di Google)
Pasti kalian juga setuju kan dengan kutipan diatas? Nah sekarang saya akan menceritakan Ibu saya, sosok yang sangat menginspirasi dan memberikan arti kehidupan bagi saya.
Nama beliau adalah Lilis Sutari dilahirkan di sebuah desa kecil yaitu desa Babakan Cirebon pada tanggal 9 Juli 1967, artinya tahun ini Ibu saya genap berusia setengah abad. Ibu saya merupakan anak terakhir dari 9 bersaudara. Beliau adalah seorang guru Kimia Sekolah Menengah Atas (SMA) dan orang yang paling saya sayangi dalam hidup saya. Saat ditanya apa alasannya? Tentu saya ingat dengan jelas saat beliau memberikan motivasi tiada henti kepada buah hatinya dan pantang menyerah.
Sedikit kisah, saya memiliki adik (alm) yang lahir pada tahun 1998, tepat setahun setelah kelahiran saya. Adik saya mengidap down syndrome yaitu suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Saya ingat sekali bagaimana Ibu saya mengasuh dan merawat saya dan adik saya setiap harinya meskipun disibukkan dengan karirnya sebagai seorang guru. Beliau pantang menyerah meskipun pada tahun 2005 adik saya mengalami lumpuh total sehingga membutuhkan perhatian khusus serta harus menjalani fisioterapi setiap bulannya. Meskipun pada saat itu saya masih berusia 8 tahun, saya dapat melihat perjuangan Ibu saya yang pantang menyerah untuk mendidik dan mencari penyembuhan penyakit adik saya. Beliau adalah sosok yang sangat inspiratif. Ibu saya kehilangan Ibu kandungnya (Nenek kandung saya) pada usia 1 tahun karena keguguran. Sejak kecil Ibu saya dirawat oleh kakak-kakaknya dan sudah mampu bersikap mandiri diusianya yang masih belia. Ibu saya di bawa ke Bekasi pada saat duduk di bangku SMP oleh salah satu kakaknya dan disekolahkan hingga dewasa.
Ibu saya masuk Universitas Neger Jakarta yang pada saat itu masih bernama IKIP Jakarta, dan mengambil jurusan Pendidikan Kimia. Ibu saya bercita-cita menjadi seorang guru yang kelak dapat memberikan ilmu kepada masyarakat Indonesia dan dapat mendidik anak-anaknya. Sejak remaja, beliau sangat gemar membaca buku dan mengajarkan anak-anak di bangku SD. Hal inilah yang sangat menginspirasi saya untuk menjadi perempuan yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Pengalaman hidup dan jejak beliau dalam dunia pendidikan sangat menggugah hati saya untuk terus berjuang dalam mengenyam pendidikan dan membuat saya sangat menyayanginya.
Selain gemar membaca, Ibu saya memiliki hobi memasak. Beliau merupakan koki yang handal, beliau mampu memasak berbagai jenis hidangan baik makanan berat maupun kue-kue basah khas Indonesia.
Risol Isi Sayuran buatan Ibu
(Sumber: Pemotretan asli dengan smartphone)
Pastel Isi Sayuran buatan Ibu
(Sumber: Pemotretan asli dengan smartphone)
Kue Bugis buatan Ibu
(Sumber: Pemotretan asli dengan smartphone)
Pastel Isi Sayuran buatan Ibu
(Sumber: Pemotretan asli dengan smartphone)
Kue Bugis buatan Ibu
(Sumber: Pemotretan asli dengan smartphone)
Beliau sangat suka bereksperimen dengan berbagai menu baik dalam maupun luar negeri. Ibu bahkan kerap mendapatkan pesanan dari kerabat-kerabatnya untuk suatu acara. Mereka biasanya memesan kue box yang berisi risol, pie buah, dadar gulung dan kue bugis.
Lalu apa yang ingin saya berikan untuk Ibu saya tercinta?
Saya sangat ingin memberikan beliau sebuah microwave. Ya, Ibu saya masih menggunakan oven tradisional di rumah, yang mana oven ini berukuran cukup besar dan menyulitkan Ibu untuk membuat suatu makanan. Oven tradisional masih menggunakan api dari kompor dalam penggunaannya sehingga membutuhkan perkiraan waktu yang tepat agar masakan didalamnya matang dengan merata. Hal yang membuat saya sedih adalah saat Ibu saya membuat kulit pie buah mini, karena masih menggunakan oven tradisional, kulit pie buah yang dibuat sering kali hangus disebabkan oleh suhu dalam oven yang tidak merata serta tidak ada perkiraan waktu untuk memastikan apakah kulit pie sudah matang dengan baik. Selain itu, Ibu saya beberapa kali mengalami luka bakar karena menyentuh oven tradisional yang panas secara tidak sengaja. Tentunya hal ini sangat menyayat hati melihat orang yang saya sayangi sering kali terkena luka bakar saat membuat masakan untuk anak-anaknya. Penggunaan oven tradisional ini juga menyulitkan Ibu saya dalam mengamati masakan didalamnya. Karena diletakkan diatas kompor sehingga posisi oven cukup tinggi serta kaca oven dalam keadaan buruk.
Saya sangat ingin memberikan beliau sebuah microwave dengan kualitas yang sangat baik dan kapasitas yang cukup besar agar Ibu dapat terus bereksperimen dalam membuat berbagai jenis masakan tanpa khawatir masakannya hangus ataupun terkena luka bakar karena oven tradisional yang panas. Dengan kapasitas yang besar saya berharap Ibu saya dapat membuat masakan dalam jumlah yang besar untuk memenuhi pesanan kerabat-kerabatnya sehingga waktu yang dibutuhkan cukup efisien.
Dengan adanya microwave ini, saya juga berharap beliau dapat melanjutkan kiprahnya sebagai guru dan dapat terus mengajarkan saya untuk memasak. Karena sejatinya pendidikan tidak cukup hanya di bangku sekolah. Bersosialisasi dengan warga, belajar menjahit, merapihkan rumah serta memasak juga merupakan bentuk dari pendidikan itu sendiri.
(Sumber : Penelusuran gambar di Google)
Saya harap tulisan saya dapat menginspirasi kita semua agar tetap bermanfaat bagi orang lain dan terus menyayangi Ibu kita. Berikut adalah foto saya dengan Ibu tercinta yang diambil pada tahun 2015.
Terimakasih telah berkunjung di blog saya, sampai jumpa!
Komentar
Posting Komentar